0 comments

Celoteh Rakyat Negara Subur nan Indah

Published By : Ihsan Syah - pp

Oh INDONESIA, negaraku sayang, negaraku malang.
Para pejabat kini kebingungan mencari solusi tepat untuk menyelesaikan ratusan juta ton masalah yang tertancap dengan kuat di tanah subur Indonesia.
Tanah subur yang seharusnya menghasilkan rempah-rempah, buah yang segar, bunga-bunga yang indah, dan pohon-pohon yang rindang. Tanah subur yang begitu ingin dimiliki orang-orang di luar sana.
Pertanyaan kami kemudian….. —>
Mengapa kemudian tanah yang begitu subur ini tidak ditanami rempah-rempah yang dapat mengharumkannya, mengapa tanah subur ini tidak dijadikan kebun penghasil intelektual yang di kemudian hari dapat membuat pesawat terbang super canggih, kereta api super cepat, jembatan super panjang penghubung pulau-pulau, kapal super besar serupa Titanic, atau setidaknya bisa membuat kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan di setiap hati-hati yang mengisi dan memenuhi rongga-rongga Indonsia tercinta ini.
Mengapa kemudian tanah subur ini ditanami benalu. Mengapa kemudian tanah subur ini ditaburi bibit-bibit koruptor, pemberontak, mafia, dan segenap kawan-kawannya.
Mengapa rumput-rumput kemiskinan, kemelaratan, pengangguran, dan rumput-rumput yang lain itu dibiarkan tetap hidup, tumbuh dan berkembang tanpa ada jeda satu milisekon pun.
NKRI, NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang begitu kerap kita suarakan dengan begitu lantangnya di ruas-ruas jalan, kini telah terpecah. Bukan hanya menjadi dua, tapi bahkan berkeping-keping.
Tapi tahukah Anda bahwa di setiap kepingan itu terpatri jutaan harapan yang selalu berteriak, makin hari suara harapan itu makin redup. Entahlah. Kami tak pernah tahu, kami tak pernah mengerti.
Hari ini, Selasa, 11 Juni 2013, puluhan pemuda yang mengaku dirinya kaum intelektual, mengoceh di jalanan, entah kepada siapa mereka mengoceh. Kami tak pernah tahu, dan kami tak pernah mengerti. Entah kami yang bodoh ataukah mereka yang terlalu cerdas, sampai-sampai keadaan ini tak mampu dicerna oleh akal sehat kami.
Dari kejauhan kami coba menerka-nerka, dan hasil terkaan kami adalah 2 km,  ya 2 km di sini, 2 km di sana, 2 km di mana-mana, Anda membuang waktu rakyat-rakyat kecil yang ada dalam 2 km itu. Rakyat yang KATANYA Anda bela, yang KATANYA Anda berjuang demi mereka, yang KATANYA, KATANYA, dan KATANYA.. Kami tidak butuh KATANYA Anda„, kami butuh BUKTINYA Anda membela kami. Mana? Apakah yang Anda maksud membela adalah membuang waktu kami di jalanan? Apakan yang Anda maksud membela adalah membiarkan Bahan Bakar kendaraan kami habis hanya karna Anda, yang katanya membela kami, menutup, menghambat dan merebut hak jalan kami? Sementara Anda sibuk berkoar-koar menyuarakan Bahan Bakar dan Bahan Bakar.. 
Demokrasi ??? Jujur, kami mungkin tak sepandai Anda. Tapi setidaknya kami paham akan arti demokrasi. Kami tahu dan kami mengerti bahwa demokrasi itu adalah kebebasan berpendapat. Yaaaaa, kami tidak mempersalahkan kebebasan berpendapat Anda. Silahkan.. Anda bebas mengutarakan pendapat. Tapi, lebih jauh kami memahami bahwa demokrasi adalah kebebasan untuk berpendapat, bukan kebebasan merebut hak kami demi mengutarakan pendapat, termasuk hak kami sebagai pengguna jalan. Yang kami pahami dari Anda adalah Anda salah menempatkan diri.
Di mana aturan-aturan hakekat yang ada? Uang rakyat adalah untuk menyejahterakan rakyat, bukan pakan ternak para tikus berdasi.. Jalan ini adalah jalan yang seharusnya dapat dinikmati rakyat untuk mencari nafkah demi keberlangsungan hidup, bukan panggung untuk Anda mengoceh, juga bukan arena untuk Anda adu kekuatan dan egoisme.
Jam 10 malam, gas air mata masih mengoyak mata, memaksa air mata menetes. Ya kami menangis, kami menangis bukan karena gas air mata, tapi hati kami menangis menyaksikan tanah subur kami yang indah dan damai, kini menjadi ajang adu pendapat, adu egoisme, adu kekuatan. Tak ada lagi keindahan, tak ada lagi kedamaian. Yang ada hanyalah kegelapan yang begitu mencekam.
Sudahlah, mari kita kembali ke rumah masing-masing. Mari kita rebahkan badan, berbaring. Tataplah langit-langit rumah. Sejenak mari kita bayangkan betapa indahnya langit pagi Indonesia dengan mentari yang begitu hangat. Betapa tenangnya melihat tumbuhan Indonesia yang begitu indah. Betapa tentramnya melihat anak-anak Indonesia bermain dengan riang.
Marilah kita mencoba mendamaikan Indonesia. Kami tahu itu berat. Tapi setidaknya mari kita berdamai dengan diri kita masing-masing, dengan hati kita masing-masing. Mari kita mulai langkah bersama. Sebuah pepatah berbahasa Inggris berbunyi -There will be no 1000 steps without a single step-
^———-Ihsan Syah———-11 Juni 2013———-^